IntelijenNews – Makassar – Ibu Mantang, seorang figur inspiratif di Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, telah mendedikasikan 34 tahun hidupnya untuk lembaga pendidikan ini. Di usianya yang ke-72, beliau dikenal sebagai sosok yang penuh integritas dan ketulusan, meski tak pernah menerima penghargaan yang layak ia dapatkan.
Selama 34 tahun pengabdiannya, Unismuh Makassar telah dipimpin oleh tujuh rektor yang berbeda: KH Djamaluddin Amien, Prof Abdul Rahman Rahim (mantan Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi, sekarang LLDikti Wilayah IX Sultanbatara), KH Makmur Ali, Prof Ambo Enre Abdullah, Prof Irwan Akib, Prof Abdul Rahman Rahim (mantan Dekan Fakultas Ekonomi Unismuh Makassar), dan Prof Ambo Asse.
Sebelum bekerja di Unismuh, Ibu Mantang pernah bekerja di tempat lain dengan gaji yang cukup besar. Namun, ketika pindah ke Unismuh, gajinya lebih rendah. Meskipun demikian, atas nasihat dari almarhum ibunya, Masiang, beliau tetap bertahan. “Nak, bekerja di tempat ini adalah pengabdian, tempat beramal. Unismuh adalah amal usaha Muhammadiyah, Ormas Islam besar di Indonesia,” pesan ibunya yang selalu terpatri di hati Ibu Mantang, membakar semangatnya untuk terus mengabdi.
Setiap hari, angkot setia menjadi teman perjalanan Ibu Mantang, mengantar dan menjemputnya dari kampus tercinta. Ia tak pernah berutang dan selalu menjunjung tinggi integritas hingga akhir. Baginya, setiap langkah adalah langkah beramal, setiap hari adalah hari pengabdian.
“Sebenarnya saya pernah dua kali mengajukan permintaan utang di kampus. Pertama saya mengajukan permintaan utang sebesar Rp500 ribu, kedua saya mengajukan permintaan utang sebesar Rp3 juta, tapi selalu ditolak. Namun, saya tidak kecewa. Ternyata, ada jalan keluar yang diberikan Allah dari masalah yang saya hadapi,” ungkapnya, sarjana akuntansi alumni STIEM Bongaya Makassar.
Di akhir masa baktinya, Ibu Mantang menjabat sebagai Kepala Tata Usaha Lembaga Perpustakaan dan Penerbitan Unismuh Makassar. Ia bekerja dengan tenang dan penuh tanggung jawab, tanpa pernah menampakkan ambisi untuk merebut jabatan. Di mana pun ditempatkan, tugasnya selalu dilaksanakan dengan baik.
Ibu Mantang mengaku selalu naik angkot pergi dan pulang kerja, karena ia memang tidak bisa membawa kendaraan. Ia tak pernah belajar membawa sepeda motor ataupun mobil. Tapi ia menikmati kesehariannya naik angkot. “Sebenarnya saya pernah punya SIM mobil, tapi saya tidak punya mobil,” ungkap Ibu Mantang sambil tertawa.
Ketika gajinya masih rendah, ia kadang-kadang kehabisan uang dan terpaksa berutang ke sopir angkot. Para sopir angkot mengerti dan mengatakan tidak usah bayar, karena mereka sudah mengenal Ibu Mantang. Namun, Ibu Mantang tidak mau berutang dan tetap membayar pada kesempatan lain kepada sopir angkot yang pernah menggratiskan tumpangannya. Ia bahkan pernah mencari sopir angkot selama satu bulan hanya untuk membayar utangnya.
“Ketika saya beri uang untuk membayar utang saya, para sopir angkot itu tidak mau menerima karena mereka sudah lupa dan tidak menganggap memberi utang kepada saya. Tetapi saya bersikeras memberinya dengan jumlah beberapa kali lipat dari tarif sekali naik angkot, karena saya merasa sangat terbantu di saat tidak punya uang atau tidak membawa uang, dan sopir angkot ketika itu dengan senang hati memberi saya tumpangan gratis,” ungkap Ibu Mantang.
Kini, di usia senjanya, ia memasuki masa purnabakti dengan kepala tegak. Ibu Mantang adalah simbol dedikasi dan ketulusan, teladan bagi kita semua bahwa nilai pekerjaan tidak selalu diukur dengan materi, tetapi juga dengan hati yang tulus dan niat yang ikhlas.