INTELIJENNEWS.COM, MAKASSAR – Perpustakaan yang dulu dianggap sebagai ruangan sunyi, belakangan ini tetiba berisik dengan berbagai polemik. Fenomena ini pun jadi tema dialog literasi Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sulawesi Selatan dalam festival “Pappaseng”.
Baca juga : Danny Pomanto Wanti-Wanti Warga Soal Peredaran Uang Palsu
Dialog yang digelar di Antropos Indonesia, Jl. Louis Pasteur, Tamalanrea, Kota Makassar ini bertajuk “Perpustakaan: Ruang Sunyi yang Mendadak Berisik”.
Dalam dialog ini, FLP Sulsel yang berkolaborasi dengan Antropos Indonesia menghadirkan 4 narasumber.
Pembicara pertama adalah perwakilan dari Dinas Perpustakaan Makassar, Tulus Wulan Juni yang memberi penjelasan perspektif perpustakaan dari sudut pandang pemerintah.
Dia mengatakan, perpustakaan sebenarnya sekarang telah mengalami perkembangan yang cukup drastis. Adapun mayoritas perpustakaan yang ada saat ini di Kota Makassar telah bertransformasi hingga ke generasi ke 5.
“Kita di Dinas Perpustakaan Makassar itu bahkan membuka 10 kelas pelatihan. Jadi perpus bukan hanya tempat membaca saja,” sebutnya.
Perpustakaan akhir-akhir ini “berisik” karena diterpa polemik kasus sindikat kriminal pencetak uang palsu. Sebagai kolega, Tulus menjelaskan bahwa ada dua poin yang dapat diambil dari kasus yang menimpa salah satu kampus negeri di Makassar ini.
Menurut dia, supervisi pimpinan lembaga yang dalam hal ini adalah pihak pimpinan universitas, menjadi salah satu indikator yang perlu dikuatkan.
“Pertama, memang kita menyalahkan oknum. Yang kedua, terkait supervisi, perlu adanya pengawasan langsung dari pihak yang punya kewenangan di lingkungan itu,” ujar Pustakawan Kota Makassar ini.
Lebih jauh, Tulus mengungkapkan bahwa Perpustakaan pada dasarnya punya 5 peran, yakni sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan juga rekreasi.
Pembicara kedua dalam dialog ini adalah Andi Batara Al Isra, mantan Ketua FLP Sulsel yang saat ini menjadi Manajer Program di Antropos.
Batara dalam kesempatannya menjelaskan tentang sejarah panjang kepustakaan di Kota Makassar. Antropolog Unhas ini menceritakan, di Makassar sempat ada perpustakaan yang mengoleksi benda-benda unik milik Raja Tallo, Karaeng Pattingalloang.
“Sejarah perpustakaan 400 tahun lalu itu seakan terlupakan dengan apa yang menimpa perpustakaan di Makassar hari ini,” sebutnya.
Sementara pembicara ketiga, Akademisi Ilmu Komunikasi UIN Alauddin Makassar, Rahmawati Latief, mengulas tentang tantangan perpustakaan hari ini. Di mana sebelumnya, pengajar di Fakultas Dakwah dan Komunikasi ini membagi perpustakaan menjadi dua, yakni Perpus Konvensional dan Virtual.
“Justru hari ini Perpustakaan yang paling berisik menurut saya itu adalah perpustakaan virtual,” ujar pembina FLP UIN Alauddin ini.
Dia pun menguraikan, tantangan dari perpustakaan virtual yang ada saat ini adalah mesin pencari (Google dan Yahoo), media sosial, serta Artificial Intelligent (AI). Di mana, tantangan ini melahirkan pergeseran budaya baca di tengah masyarakat modern.
“Butuh adanya digital detoks dari medsos itu kita harus berhati-hati. Saya pernah melakukan riset tentang Nomopobhia, di mana orang-orang itu tidak bisa jauh dari gadget-nya,” ungkapnya.
Terakhir, Pembicara keempat pada dialog ini adalah Akademisi Universitas Hasanuddin, Fajlurrahman Jurdi.
Terkait dengan polemik yang terjadi di lingkungan perpustakaan belakangan ini, Fajlurrahman yang merupakan ahli hukum menjelaskan tentang Undang-undang yang menjerat para pelaku pemalsuan rupiah.
Fajlurrahman menerangkan bahwa terdapat dua Undang-undang yang dapat dikenakan pada tindak pidana para pelaku pemalsuan rupiah di Perpustakaan UIN Alauddin Makassar tersebut, yakni Pasal 244 dan 255 KUHP lama yang masih berlaku, dan Pasal 374 dan 375 UU 1/2023 KUHP.
Baca juga : Sudah Damai Dengan Korban, Pelaku Tak Kunjung Dilepas Oknum Penyidik Polrestabes Makassar